Ketika Ayah Mendongeng, Resensi atas Novel “Ayahku (Bukan) Pembohong” Karya Tere Liye

Judul: Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011
Jumlah Halaman: 304 hlm

Adakah dari kalian yang tumbuh besar dengan dongeng?

Dongeng sejatinya adalah salah satu media yang paling ampuh untuk menyampaikan nilai-nilai moral, spiritual, serta motivasi kepada anak-anak. Secara kognitif, dongeng dapat menambah perbendaharaan kata anak, serta konon anak-anak yang tumbuh dengan dongeng dari buku akan lebih mudah belajar membaca ketimbang yang tidak dibesarkan dengan dongeng, Selain itu, dongeng juga dapat membentuk bonding yang kuat antara anak dan orangtua (yang suka mendongeng tentunya). Oia, saya bahkan belum menyebut tentang minat baca anak yang dapat distimulasi melalui dongeng. Dan masih banyak lagi manfaat dongeng bagi anak-anak yang kalau saya uraikan semua, maka niscaya tulisan ini akan tampak seperti esai mengenai manfaat dongeng bagi tumbuh kembang anak. xD

Long, long time ago, saya adalah salah satu dari anak-anak yang dibesarkan dengan dongeng. Mama adalah pendongeng favorit saya. Dan “Si Mbak”, atau Asisten Rumah Tangga Mama kala itu adalah pendongeng kedua favorit saya.

Selamanya saya akan berterima kasih, karena cerita Mama yang dikonfirmasi oleh si Mbak yang berjudul “Titian Rambut Dibelah Tujuh” sangat merasuk dalam hati dan pikiran saya. Sampai-sampai ada masa ketika saya duduk di bangku sekolah dasar, saya menangis karena takut membayangkan akan berjalan seorang diri di atas titian rambut dibelah tujuh. Bukankah hari pengadilan-Nya sungguh menakutkan?

Anyway, Tere Liye menjadikan dongeng sebagai benang merah hubungan Dam dan Ayah-nya, tokoh utama dalam novel berjudul “Ayahku (bukan) Pembohong” ini. Ayah memegang peran penting dalam tumbuh kembang seorang Anak, kalau tidak mau disebut yang terpenting. Ayah Dam, lelaki paling jujur di kotanya, mendidik Dam dengan dongeng yang sarat nilai. Dongengnya pun bukan sembarang dongeng, melainkan dongeng mengenai pengalaman pribadi sang Ayah.

Ikatan yang kuat tumbuh antara Dam dan ayahnya. Dam pun tumbuh menjadi anak baik, penolong, jujur dan pantang menyerah. Hal tersebut tidak lain karena dongeng-dongeng Ayah yang mengendap dan mengejawantah dalam pribadi Dam.

Dalam surat permohonan maafnya kepada Ayah, Dam menulis:

“Dear Ayah
Bagiku, sehebat apa pun sang Kapten, maka Ayah lebih hebat”

Surat itu pun bahkan diakhiri dengan:

“Dari penggemar terbesar Ayah sepanjang masa,
Dam”

Hingga Dam beranjak remaja. Dongeng-dongeng Ayah mulai terasa lebih menyerupai cerita fiksi ketimbang pengalaman pribadinya. Pasukan Penguasa Angin? Apel Emas Lembah Bukhara? Si Raja Tidur? Betulkah itu nyata? Namun bukankah Ayah tidak pernah berdusta?

Dam mulai meragukan satu demi satu dongeng-dongeng Ayahnya.

Titik puncaknya adalah saat Ibu Dam berpulang. Kepercayaan Dam pada Ayahnya seakan runtuh, dan sejak itu pula hubungan keduanya memburuk. Demikian bertahun-tahun, hingga sang Ayah “naik pangkat” menjadi Kakek bagi Zas dan Qon, kedua anak Dam. Kakek pun mulai mengulang dongeng-dongengnya kepada kedua anak Dam. Usia tidak mengurangi kemampuan Ayah Dam mendongeng. Suatu hal yang sangat dibenci Dam.
Puncaknya adalah pertengkaran hebat Dam dengan Ayahnya, ketika Ayahnya menyebut-nyebut mengenai Akademi Gajah-tempat Dam bersekolah- dan menyinggung tentang Ibunya dalam dongeng-dongeng hebatnya.

Ibu tidak pernah tampak bahagia selama menikah dengan Ayah. Hidup mereka sederhana sekali. Ayahnya meninggalkan karir cemerlang demi integritas yang ia junjung tinggi. Reputasi nan tiada cela. Tapi Ibu Dam, sungguhkah ia bahagia seperti yang Ayah katakan? Betulkah Ibu Dam dulunya adalah mantan artis terkenal? Yang benar saja.
Jika dongeng-dongeng Ayah benar, maka semestinya ia muncul di mesin pencari dunia maya, bukan? Apapun ceritanya, Dam sudah memutuskan cerita Ayah selesai. Atau ia boleh pergi dari rumah Dam.

Akhirnya, sebagaimana tergambar, ceritanya mudah ditebak. Walaupun tetap membuat saya mbrebes mili. Saat Dam mengetahui bahwa dongeng-dongeng Ayahnya adalah nyata, sang Ayah sudah menutup mata untuk selamanya dan menyisakan dongeng terakhir: Danau Para Sufi.

“…Apa hakikat sejati kebahagiaan? Apa definisi kebahagiaan?
Kenapa tiba-tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan?
Mengapa kita tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekadar kabar buruk?
Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati?”

Dongeng yang sebenarnya adalah usaha terakhir Ayah Dam untuk menyatukan hatinya yang masih terluka karena kehilangan Ibunda.

Kebahagiaan sesungguhnya adalah tentang bagaimana kita mengelola sumbernya, yang adalah hati.

Seperti biasa, Tere Liye semacam satu frekuensi dengan saya yang melankolis. Hehehe. Jadi, selalu berhasil bikin saya mengusap air mata haru. Novel ini pun demikian adanya. Ringan, mudah dipahami dan mudah pula ditebak. Banyak nilai yang dapat diambil dari novel yang diterbitkan oleh Gramedia ini. Relasi Ayah dan Anak yang dinamis, nilai-nilai kejujuran, kerja keras dan kesahajaan adalah beberapa yang saya rasa banyak ditonjolkan di dalamnya.

Namun demikian, bagi saya, sosok Ayah Dam yang digambarkan sebagai pria menyenangkan yang dicintai semua orang, masih menyisakan misteri besar. Saya pikir akhir novel akan membuka semua lapis demi lapis realita dongeng Ayah Dam, akan tetapi saya menutup novel dengan perasaan kentang alias kena tanggung.